



My Profile
Kanji : 森 下 純平
Romaji : Morishita Junpei
Also known as : Shinmura Junpei (Formerly)
Age : 15
Birthday : May 10 (Taurus)
Relatives : Shinmura Izuru (Father)
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀Tsuda Minami (Mother)
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀Morishita Isao (Adoptive Father)
Occupation
Status : Active
Occupation : Morishita Junpei
Also known as : High School Student
Class : 1 (Literature)
Physical Attributes
Height : 175 cm (5’9″)
Weight : 61 kg (134 lbs)
Hair Color : Black
Eye Color : Dark Brown
Blood Type : AB
Potrayal
Voiced by (JP) : Natsuki Hanae
Played by : Jung Subin

Personality
Morishita Junpei originally had a cold, aloof personality, which stemmed from his abusive upbringing and complicated family life. Focused and unemotional, Junpei preferred to keep to himself instead of hanging out with other people and stopped trying to connect with people. Rather, Junpei focused on himself, driven solely by his own desires and his own survival. It is implied that this comes from his strict upbringing. His father were so strict, his father also prevented Junpei from interacting with his friends, while they played and Junpei began to despise the studying and resented his father for abusing him and his mother. Having been denied a normal childhood so that his father could train him to realize his own selfish ambitions, Junpei still holds various psychological scars.
While escaping from what appears to be a fire that broke out at :'that place', he underwent a traumatic experience of leaving Kitagawa Rina behind as he was unable to save her. Ever since, he developed night-terrors, chronic insomnia, and a somewhat paranoid attitude. He feel guilty about leaving his friends behind. However, Junpei takes this as proof that his own choices in life were wrong; he had surrendered to his difficult circumstances too easily. From that point onward he starts moving away and notably became more sociable and kind, even gaining a sense of humor and occasionally smiling, although still retaining some fragments of his previous distant attitude. He began opening up more to his classmates and finding something that he's willing to give his life to protect. Nonetheless, Junpei is not quite used to socializing yet, coming off as a bit dense when it comes to understanding certain figures of speech.
Junpei feels indebted to Machida Chūji for how significantly he's changed; he considers Chūji his one and only closest friend and believes all the tragedies of his childhood were worthwhile since they led him to meet Chūji. Junpei's desire to protect Chūji. This quality was most often demonstrated in the form of Junpei taking on the larger boys who would bully Chūji without hesitation
Despite his serious demeanour, Junpei is empathetic and in touch with his emotions. Like many children, he tended to view the world in terms of black-and-white, having great compassion for humanity and its plight, but deeming those individuals who deny others their freedom as worthless scum unfit to be left alive. He also had the habit of thinking with his heart rather than his head, even in situations where his own life was in danger.

He was born to upper-class families and lived under the influence of his ambitious fathers.He lost his mother, and was forced to live under his father's manipulative influence.Junpei have a burn-induced scar over his right eye caused by his mother.He have an abusive father. Junpei got abused by his father for training him very harshly.It is presumed that he is left-handed since he wears his watch on his right hand, but he has also been seen throwing with his right hand - perhaps meaning that he is ambidextrous.He underwent a traumatic experience of leaving Kitagawa Rina (Nine) behind. He couldn't save her back then, he felt powerless that he couldn't save her in the end.His alias is Eight. The romanji for his name is "Eito" (エイト) in order to sound like the English pronunciation, "Eight".His name is Shinmura Junpei in the past before he changed it. Junpei was adopted by Morishita Isao whom never married and is past his prime, to help out around his ancestral farm in Yamanashi.Junpei's favourite words are, "love for oneself" (自愛, jiai), "affection" (慈愛, jiai) and "future" (未来, mirai).Junpei has earned several nicknames from others. In "that place", people usually called him "The Lucky One" .Junpei suffers from a rare uncurable muscle degenerative disease, a type of idiopathic inflammatory myopathy called Myofibrillar myopathy. But Junpei don't recognise that he have an illness, he thought it was just a tremor.
Quotes
Junpei : "I hate him, mommy... I... I don't wanna be like daddy. Someone who bullies my mommy. I don't wanna be like that."⠀⠀ Minami : "That's fine. You're not... Bound by his ⠀⠀ blood. You decide... Who you want to become."
Minami : "Don't look back, there is nothing in past, look in the future and win it. Don't waste your time looking back at what you've lost. Move on, life is not meant to be traveled backwards. When a thing is done, it's done.""Ever since that day, I thought my presence would put pressure on mom, so I never want to see her.""I fight for my sake only and live to love no one but myself.""Just because someone is important to you, it doesn’t necessarily mean that, that person is good. Even if you knew that person was evil… People cannot win against their loneliness.""I feel... Kind of bad... I feel like if I get involved... Other people mess up their hands. Is it a curse? I'm not "The Lucky One". I'm like "The Hand Crusher"* or something."They were weak. That’s why they died. We were weak, too. That’s why we couldn’t save them.""Remember us… remember… that we lived.""Now there’s something I understand a little better. Hate, sadness, even joy. To be able to share it with another person… Machida Chūji. He knew pain like I did and then he taught me that you can change your path. I wish that one day I can be needed by someone.""One day I’d like to become something precious to others."To Machida Chūji : "I think of you as a friend. I used to think “friend” was just another word… Nothing more, nothing less. But when I met you, I realized what was important was the word’s meaning."

"If you're reading this... Congratulations, you're alive."
ㅤㅤAku hanya ingin menceritakan sedikit kisah tentangku, apa yang terjadi padaku di masa lalu, dan apa yang membuatku menjadi seperti ini.
ㅤㅤIni hanyalah kumpulan-kumpulan kertas dari buku harian yang pernah aku sobek beberapa tahun lalu. Namun, aku berjanji tidak akan melewatkan apapun dari apa yang telah aku tulis di masa lalu. Masa kecilku, dan masa remajaku. Setelah itu, kalian bisa menilai sendiri, bagaimana diriku bisa terbentuk hingga seperti ini sekarang.
ㅤㅤBaiklah, akan aku memulai semuanya dari awal. Aku terlahir dengan nama Shinmura Junpei, aku memiliki seorang ayah bernama Shinmura Izuru, kalian bisa mencari namanya melalui media pencarian, karena ayahku merupakan seorang Direktur Pusat Penelitian dan Pengembangan Klinis di National Center for Child Health and Development (NCCHD), pusat nasional untuk kesehatan dan pengembangan anak di Jepang yang terdiri dari rumah sakit, pusat penelitian dan pengembangan klinis serta lembaga penelitian yang bekerja sama secara erat untuk mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan generasi masa depan melalui perawatan dan penelitian medis.
ㅤㅤAku juga memiliki seorang ibu, yang sangat aku sayangi. Menurutku, ibu adalah wanita yang luar biasa. Ia merawat dan mendidikku di tengah kerasnya sifat ayah kepadanya.
ㅤㅤAku memiliki orangtua yang sangat bertolak belakang. Ayah adalah orang paling dingin sedunia, butuh jutaan alasan yang lebih dari sekadar remeh jika ingin membuatnya tertawa. Bahkan, aku bisa menghitung kuantitas senyum yang Ayah beri padaku. Sedangkan Ibu, ia adalah salah satu wujud oposisinya. Ibu mudah tersenyum, di balik helai surai hitamnya yang sering jatuh menimpa wajahnya, senyum Ibu yang paling indah. Dan bagiku, adalah hal yang mudah membuat Ibu dapat menyingkap senyum.
ㅤㅤAtas dasar itu, aku sering dibuat penasaran, apa yang membuat mereka berdua dapat bersatu di antara dua oposisi tersebut. Ayah selalu bertindak kasar dan semena-mena, tak jarang pukulan demi pukulan ia layangkan kepada aku dan ibu. Pertengkaran kedua orangtuaku adalah makanan sehari hari sejak aku kecil, tidak ada suara nyaring dan pekikan Ibu yang memekakan telinga.
ㅤㅤDari semua pertikaian itu, salah satu alasannya adalah aku. Ayah selalu mengatur hidupku, ia selalu berharap untuk bisa membuatku hebat dalam berbagai bidang. Semua hal harus aku pelajari dan harus bisa aku kuasai, jika aku menolak bahkan gagal, Ayah tidak segan-segan untuk menyiksaku dan Ibu.
ㅤㅤAku harus pandai di bidang sains, aku juga harus berlatih bela diri, aku harus bisa matematika dan menghubungkannya dengan seni.
ㅤㅤAku tidak tahu apa isi kepala ayahku sendiri, aku diperlakukan seperti babi tidak berdaya yang diikat, di dalam kandang berkarat.
ㅤㅤSikapnya itu sangat berlawanan jika dihadapkan pada pekerjaannya, seolah-olah ia adalah pria paling peduli, padahal ia memperlakukan anak sendiri dengan cara yang sangat buruk.
ㅤㅤSore itu, ketika mendung bertaut di langit dengan angin-angin yang membawa petrikor masuk ke indera penciuman, pertengkaran kembali terjadi di hadapanku.
ㅤㅤHingga sebuah siraman air mendidih tepat mengenai separuh wajahku.
ㅤㅤSaat itu aku bisa merasakan kombinasi aneh antara rasa sakit pada wajahku, atau rasa sakit pada hatiku mendengar Ibu menangis dan meminta maaf padaku berulang kali.
ㅤㅤDan keesokan harinya aku menyadari bahwa, separuh wajahku tidak sama lagi...
ㅤㅤSetelah kejadian itu, Ibu tiba-tiba menghilang di pagi hari. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda kehadirannya di rumah. Aku bertanya pada Ayah tentang kepergian Ibu, tetapi jawaban yang pria itu katakan hanya membuat amarahku memuncak meski tak dapat aku lontarkan sama sekali.
ㅤㅤ"Ibumu sudah aku bawa ke rumah sakit karena ia sudah gila, ia sudah menyakitimu."
ㅤㅤTidak kah pria itu bercermin tentang apa yang dia katakan?
ㅤㅤDialah yang selama ini selalu menyiksa dan menyakitiku.
ㅤㅤSejak kecil aku tidak memiliki teman, aku jarang terbuka kepada siapapun bahkan di sekolah aku tidak bisa melaporkan kepada siapa-siapa tentang kejadian yang menimpa diriku.
ㅤㅤIni semua karena Ayah yang memiliki aturan sendiri atas hidupku, bahkan aku tidak diijinkan untuk berteman dengan siapapun.
ㅤㅤSemenjak kepergian Ibu, Ayah selalu mengajakku pergi ke tempat kerjanya. Aku tidak begitu ingat bagaimana tempat tersebut bisa aku gambarkan. Tempat kerja Ayah didominasi warna putih, mirip sebuah rumah sakit.
ㅤㅤBeberapa pekerjanya tampak tidak ramah sama sekali, bahkan sering sekali terasa sepi.
ㅤㅤAku diberikan sebuah ruangan yang mirip dengan kamar, selama di sana aku dipaksa belajar oleh Ayah. Ayah bilang tempat itu adalah tempat yang tepat untuk belajar agar tidak terus menerus mengingat Ibu. Dengan bodohnya aku menurut, karena jika aku menolak, aku akan mendapat pukulan lagi yang mampu membuat sekujur tubuhku membiru.
ㅤㅤSetiap hari, selalu ada pria dengan jas putih yang memberiku vitamin berupa beberapa suntikan di tangan.
ㅤㅤRasa jenuh menghampiriku setiap saat, hingga pada akhirnya aku menyadari bahwa tidak hanya ada aku yang berada di tempat itu. Aku bertemu dengan anak-anak lain, dan aku mulai berteman dengan mereka. Mereka bernama Machida Chūji dan Kitagawa Rina, entah bagaimana kami jadi begitu akrab bersama.
ㅤㅤMereka bilang bahwa anak-anak di sini diberi nama sesuai dengan angka, dan aku mendapatkan angka delapan, sama seperti angka yang berada di depan pintu kamar itu. Dan orang dewasa seringkali memanggilku dengan sebutan 'The Lucky One'.
ㅤㅤAku tidak mengerti apa maksud mereka, tetapi ada perasaan tidak nyaman yang menyelimuti diriku selama di sana.
ㅤㅤTempat itu benar-benar tempat yang aneh dan aku ingin kabur dari sana. Masa bodoh dengan Ayahku, aku sudah tidak peduli lagi dengannya. Aku tidak bisa terus menerus hidup dalam keterpurukan dan kekangan semacam itu.
ㅤㅤDalam rasa tidak nyaman yang menyelimutiku, aku secara tidak sengaja mendengar ucapan salah satu perawat yang mengatakan bahwa kamiㅡanak-anak yang berada di tempat ituㅡadalah anak-anak yang tidak berguna.
ㅤㅤSejenak, diriku merasa panas mendengarnya. Aku merasa bahwa aku tidak memiliki tempat lagi di dunia ini, bahkan Ayah kandungku sendiri menganggap aku seperti sampah.
ㅤㅤDi tengah kemelut hati yang memenjarakan segalanya, tiba-tiba saja muncul ingatan tentang Ibu. Lintasan memori itu layaknya bom yang meledak di dalam kepala, dan semua kalimat-kalimat Ibuku muncul begitu saja ...

"Jangan pernah melihat ke belakang... Jangan pernah menoleh ke belakang"
ㅤㅤTak ada alasan lain untuk tidak mematuhi ucapan Ibuku dulu. Aku langsung mematangkan rencanaku untuk kabur dari tempat sialan tersebut.
ㅤㅤMaka, aku menjalankan rencana bersama teman-temanku untuk kabur dari sana. Aku tahu aku begitu naif sebagai seorang bocah yang memperjuangkan kebebasan, padahal usiaku saat itu masih delapan tahun.
ㅤㅤAku pun berhasil kabur dengan memicu sebuah kebakaran sehingga alarm kebakaran berbunyi dan melemahkan sistem keamanan, meskipun tidak semua anak yang ada di sana mampu aku selamatkan.
ㅤㅤSalah satunya yang tidak berhasil adalah Kitagawa Rina. Aku tidak mampu menyelamatkannya, dan hal itu menjadi penyesalan terbesar dalam hidupku.
ㅤㅤSeharusnya aku mampu untuk menolongnya, tetapi aku meninggalkannya di sana. Aku tidak tahu bagaimana kondisi Rina setelah tragedi itu, aku sangat menyesal hingga saat ini. Bahkan penyesalan itu selalu menjadi mimpi buruk di setiap malam.
ㅤㅤAku dan anak-anak lain yang berhasil lolos pun pergi seperti gelandangan dan buronan, mencari panti asuhan yang bisa menampung kami. Sampai pada akhirnya kami mendapatkan tempat yang layak, panti asuhan yang menerima kami apa adanya. Kami bahkan mengaku menjadi korban kecelakaan supaya bisa terhindar dari kejaran Ayahku sendiri.
ㅤㅤKami pun bersekolah meskipun mendapatkan perundungan karena status kami yang yatim piatu. Selain itu, fisik kami secara langsung tampak begitu berbeda dari yang lain, aku dengan luka bakar di separuh wajahku, dan Chūji yang menderita disleksia dan heterochromia (perbedaan pada warna bola mata).
ㅤㅤAku selalu bertanya-tanya kepada Ibu pengasuh di panti asuhan, kapan penderitaanku akan berakhir? Dan kapan teman-temanku bisa diterima juga di lingkungan masyarakat?
ㅤㅤPerbedaan yang kami miliki rasanya mampu membuatku sangat marah, dan mengubah kepribadianku menjadi negitu tempramental. Aku hanya ingin melindungi temanku, aku hanya tidak ingin ada orang yang menyakiti temanku.
ㅤㅤBahkan, perlawananku sebagai bentuk usaha melindungi Machida Chūji, harus dibayar dengan status DROP OUT dari sekolah. Aku memukul bocah itu hingga babak belur atas ulah perbuatannya yang bersikap jahat pada Chūji.
ㅤㅤKejadian itu rupanya terhubung langsung pada sebuah cerita baru yang aku jalani hingga saat ini. Saat aku kehilangan sekolah dan segalanya, tiba-tiba saja seorang pria tua datang dan berencana untuk mengadopsi diriku. Aku sempat menolak tawaran tersebut, karena aku tidak ingin berpisah dengan Machida Chūji.
ㅤㅤNamun, Chūji dengan tegas menolak kehadiranku. Pertengkaran itu terjadi begitu saja membuat diriku merasa tidak berharga sama sekali. Oleh sebab itu aku menerima tawaran untuk pindah dari kota itu.
ㅤㅤAku diadopsi oleh seorang pria yang memiliki ladang perkebunan yang sangat luas. Awalnya aku begitu canggung dan ragu untuk tinggal bersamanya, karena aku merasa tidak mampu memantaskan diri di tempat tersebut.
ㅤㅤPria itu bernama Morishita Isao, seorang pria paruh baya yang tidak pernah menikah dan memutuskan untuk mengadopsi seorang anak yatim piatu dari panti asuhan setempat untuk membantu megurus perkebunannya di kota Yamanashi. Dari sanalah namaku yang saat ini aku gunakan berasal. Dari pria baik hati yang selalu berusaha mengobati luka dari masa laluku.
ㅤㅤMorishita Junpei.
ㅤㅤKehidupanku baru saja dimulai. Aku merasakan kehangatan lain bersamanya, kehangatan yang tidak pernah aku dapatkan dari ayah kandungku dulu. Beliau begitu baik dalam bersikap, beliau membimbingku menjadi seorang Junpei yang berbeda dari sebelumnya, meski bayangan masa lalu itu selalu mengusikku setiap malam.
ㅤㅤWaktu berlalu begitu saja, aku kini sudah menjadi siswa SMA di Yamanashigakuen High School dengan kesibukanku membantu Ayah di perkebunan.
ㅤㅤNamun, hari itu... tiba-tiba saja beliau memintaku untuk pindah sekolah ke Tokyo. Ia bilang, banyak alasan yang mengharuskan aku untuk melanjutkan sekolah di sana, dan salah satunya adalah membantuku untuk melupakan masa lalu. Bahkan aku tidak diijinkan lagi membantunya berkebun, karena aku diminta untuk masuk ke sekolah yang memiliki asrama.
ㅤㅤAku diharuskan untuk memulai semuanya dari awal, menjadi diriku yang seharusnya, dan menemukan orang-orang yang tepat yang mampu membimbingku menuju masa depan yang lebih baik.
ㅤㅤAyah berjanji untuk selalu menjagaku, untuk menjadi ayah terbaik untukku, meskipun aku harus bersekolah di Tokyo. Di Tenjin Kokusai High School.
"Kau akan baik-baik saja di sana, kejarlah cita-citamu, temukan teman-teman yang akan selalu mendukungmu, kauㅡ Morishita Junpei, adalah anakku."
ㅤㅤSekali lagi, aku menoleh ke luar pintu. Hujan masih turun dengan lebatnya, membawa langit menggelap lebih cepat. Angin berembus, menerbangakn tirai jendela yang sudah waktunya ditutup. Di luar, sore itu begitu dingin, sepi, dan gelap.
ㅤㅤTapi …
ㅤㅤAku hanya mampu memegang dada.
ㅤㅤHatiku terasa begitu hangat dan penuh.
